Orang berhasil atau sukses selalu diraihnya melalui proses atau “ono laku lan totocorone”, demikian juga kegagalan dan kehancuran. Sirnanya pusaka utama keraton menandakan akan sirnanya kebesaran sebuah keraton seperti: sirnanya pusak utama keraton Majapahit yaitu Keris Kyai Condong Campur dan sirnanya pusaka Kyai Sumpit Jagat yang amblas ke dalam bumi di desa Sawangan. Amblasnya kedua pusaka utama keraton tersebut diperkirakan pada pertengahan tahun 1400-an. Adapun bentuk dan ukuran dari kedua keris tersebut adalah sama persis, yang dibuat oleh seorang Mpu yang sama yaitu Hyang Mpu Supa Mandrangki (Mpu Pitrang, Mpu Sedayu).
Masa keemasan kedua Keraton tersebut yaitu di Majapahit pada masa Kajeng Prabu Hayam Wuruk (dengan Patih Gajah Mada) dan di Swecapura pada masa Kanjeng Prabu Dalem Watu Renggong (dengan Patih Ularan) menjadikan kedua Keraton tersebut benar-benar masyur di wilayahnya, akan tetapi dimasa inilah pusaka utama keraton tersebut sirna atau mukso. Dengan muksonya pusaka utama Keraton tersebut maka mulailah keributan (ontran-ontran) yang di dalam keraton sampai berdampak pada pemerintahannya. Kemasyuran Majapahit berakhir pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya-V (Prabu Brawijaya Pungkasan, Sinuwun (Sunan) Lawu), Raden atau Ratu Alit, Bhre Kertabhumi, Ratu Ongko Joyo, Prabu Brastoso). Sedangkan di Keraton Swecapura masa kemasannya berakhir pada Raja ke-5 Swecapura yaitu Kanjeng Prabu Dalem Dimade, karena beliau lebih mempercayakan pada pengabihnya dan Keraton Swecapura dipimpinnya dari Istana Kecil Desa Sawangan.
Dari kronologis sejarah di atas, menunjukkan bahwa Desa Sawangan berdiri pada Kamis Legi Dunggulan (Umanis Galungan) tahun 1545 (Tegak Odalan Ratu Penawangan), yaitu saat sebuah tempat tersebut akan dijadikan sebuah Kerajaan kecil yaitu Kerajaan ke-2 dari Swecapura oleh Hyang juru titik atau juru penerawangan (Hyang Dalem Watu Renggong).
Amblasnya pusaka Kyai Sumpit Jagat di Desa Sawangan menandakan Desa ini sebagai sebuah Desa yang sangat sakral dan sangat wingit dengan dikelilingi oleh tempat suci seperti Pura Geger, Pura Karang Boma, Pura Gunung Payung, Pura Batu Pageh, Pura Uluwatu, Pura Gua Gong. Desa Sawangan benar-benar dijadikan Puri Swecapura ke dua setelah Puri Utamanya di Gelgel Klungkung, karena Hyang Dalem Dimade senantiasa memerintah kerajaan dari Desa ini, sedangkan di Puri utamanya dipercayakan kepada pengabihnya yaitu I Gusti Agung Maruthi.
Puri Swecapura kedua ini dijadikan sebagai pusat perpaduan 3 (tiga) Kerajaan besar di tanah Nusantara, yaitu Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Udayana (Swecapura) dan diteruskan oleh perpaduan Kerajaan Udayana dengan Kerajaan Majapahit, sehingga Desa ini menjadikan Desa yang menurunkan trah perbaduan atau gabungan ketiga Kerajaan besar tersebut. Karena demikian sakralnya dan untuk menjaga kesucian Desa ini dan sekitarnya (Kaki Bali) maka untuk melakukan pembakaran jenasahpun (kremasi) sangat dilarang. Artinya setiap orang diharapkan untuk menyadari bahwa terus mengingat Sang Pencipta dan jika mampu ucapkanlah kalimat “AUM” saat kita dipanggil Sang Pencipta, agar kita menghadapNya telah menjadi suci dan tidak perlu menunggu kita dikremasi (diaben). Adat istiadat ini sudah menjadi budaya keluarga Kerajaan Pejajaran, Keluarga Kerajaan Majapahit dan umumnya jaman dulu seseorang dapat melakukan mukso sendiri seperti Hyang Prabu Brawijaya-V mukso di Gunung Lawu sehingga disebut sebagai Sunan Lawu, Hyang Dalem Bagelan juga mukso di Gunung Lawu bagian Wetan (Timur), Hyang Prabu Surya Kencana (mertuanya Hyang Dalem Bagelan) mukso di Gunung Gede Bogor Jawa Barat, Hyang Dalem Purbo Agung mukso di Gunung Bromo, Hyang Dalem Purbo Ageng (adiknya) mukso di Gunung Srandil, demikian juga Purohito Hyang Nirartha juga mukso di Pura Luhur Uluwatu (kakak mertuanya Hyang Dalem Dimade), dengan inilah pasti ada kaitannya antara Pura Ratu Penawangan dengan Pura Luhur Uluwatu. Artinya beliau-beliau itu tidak akan pernah diketemukan kuburannya, jikapun ada hanyalah sebuah petilasan seperti: Peti Tenget, Rambut Siwi, dan lain-lainnya.
Bukti Desa ini benar-benar dijadikan Puri kedua, yaitu dengan ditempatinya Puri ini oleh Hyang Dalem Dimade bersama permaesurinya (Hyang Sukaesih), dan semua putra-putranya (Dalem Agung Mayun, Dalem Agung Bagelan dan Dalem Agung Jambe) dilahirkan di Desa/Puri kedua ini. Penerus generasi keduanya adalah Dalem Bagelan bersama permaesurinya (Nyi Mas Purbaningrum), diteruskan oleh putra makotanya yaitu Dalem Purbo Agung dengan permaesurinya (Roro Gayatri), selanjutnya diteruskan oleh Ki Ageng Paromo Jalu dengan permaesurinya (Roro Ayu Komang). Desa/Puri kedua benar-benar hancur dan ditinggalkan (berakhir) setelah sepeninggalan Hyang Roro Ayu Komang (Trah Puri Swecapura + Trah Kerajaan Pajajaran). Dari terakhir inilah banyak orang-orang melakukan penyembunyian wangsa (Nyineb wangsa) dan masing-masing berusaha untuk menyembunyikan identitas dan berusaha saling tidak mengenal, karena mana musuh dan mana kawan/saudara.
Desa atau Puri kedua Swecapura pernah disinggahi dan diinapi (menginap) oleh Raja Pejajaran-IV atau Prabu Siliwangi-IX (Romonya Nyi Mas Purbaningrum) untuk beberapa hari, sehingga Desa Sawangan sungguh menjadi Desa yang patut kita jaga kelestariannya dan berusaha
untuk menjalankan adat-istiadatnya dengan baik agar apa yang diharapkan dan menjadikan sebuah visi dan misi penitik (Hyang Dalem Watu Renggong) terwujud dengan baik. Bukti keberadaan Trah Pejajaran ada di Desa Sawangan yaitu kehadiran Sukma (Jiwa) harimau (Macan) yang sering hadir saat ada upacara (ritual) di Pura Geger (gegernya atau punggungnya untuk memulai menginjakkan kakinya menuju Desa Sawangan).
Mengapa beliau bersikap bijaksana karena beliau tidak ingin musuh-musuh keraton terus melakukan pemberontakan jika Hyang Dalem Agung Bagelan menjadi raja dan kebetulan beliau telah dipinang oleh Kerajaan Pajajaran (Hyang Prabu Surya Kencana) serta beliau telah membangun hubungan baik dengan Kerajaan Majapahit, sehingga cucunya dijodohkan dengan putra keturungan Kerajaan Majapahit (Ki Ageng Paromo Jalu). Dengan demikian beliau memilih meninggalkan kerajaan kecil di Desa Sawangan dan menuju Jawa (Kabupaten Purworejo saat ini) bersama putra ke-2nya, sedangkan putra pertamanya (Hyang Dalem Purbo Agung menyusul ke tlatah Jawa yaitu ke rumah mertuanya di lereng Gunung Bromo (Desa Tengger). Akhirnya keturunan dari trah 3 (tiga) Kerajaan yaitu Udayana (Swecapura), Pajajaran dan Majapahit di Desa Sawangan yaitu satu-satunya keturunan (putra-putri) dari kakek-koe (Dalem Agung Griya, Ki Ageng Griya, Wayan Griya).
Kebenaran isi dan kajiannya, berdasarkan penelusuran penulis dan bukti-bukti yang dimiliki penulis sifatnya pribadi.
Karena demikian sakralnya Desa ini, menurut Babad, orang luar yang berkehendak jahat, dipastikan tidak bisa pulang membawa hasil kejahatan karena yang dilihatnya yaitu merasa dirinya dikelilingi air laut, dan banyak cerita-cerita lain dari orang tua kita.