Latar Belakang



Kita boleh percaya, bahwa leluhur-leluhur kita masih dapat memberikan bimbingan dan arahan (njangkung dan njampangi) serta memberikan doa dan restu kepada anak turunnya. Komunikasi dapat berlangsung melalui berbagai media, misalnya melalui mimpi (puspa tajem), melalui keketeg ing angga (suara hati nurani), bisikan gaib, atau dapat berkomunikasi langsung dengan para leluhur.

Dalam pola hubungan kekerabatan atau silsilah di dalam Kraton di Jawa dan Bali Dwipa di kenal istilah trah. Menurut arti harfiahnya trah adalah garis keturunan atau diistilahkan tepas darah dalem atau kusuma trahing narendra, yakni orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga besar secara genealogis dalam hubungan tali darah (tedhaking andana warih). Banyak sekali orang merasa bangga menjadi anggota suatu trah tertentu namun kebingungan saat menceritakan runtutan silsilah atau trah leluhur yang mana yang menurunkannya. Seyogyanya kita dapat menyebutkan dari mana asal-usul dan mata rantai leluhur yang menurunkan, sehingga kita dapat memberikan pengabdian kepada leluhur secara tepat.

Dengan demikian rasa memiliki dan menghormati leluhurnya tidak dilakukan dengan asal-asalan atau yang dikenalnya dari keturunan Adam-Hawa. Mengetahui tedhaking andana warih membuat kita lebih tepat munjuk sembah pangabekti atau menghaturkan rasa berbakti dan memuliakan leluhur kita sendiri. Trah kejayaan nusantara masa lalu yang masih eksis hingga sekarang adalah trah Majapahit, yakni kerajaan Mataram Panembahan Senopati di Kota Gede Yogyakarta, Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di kota Solo, generasi Mangkubumen yakni Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta.

Dengan adanya wangsa atau soroh/klan/trah ini, maka kita dapat mulai mengenal wangsa kita. Untuk itu maka sistem wangsa patut tetap ditegakkan di Jawa-Bali ataupun di tanah nusantara ini agar dapat mengenal dan menghormati atau menghaturkan sembah bhakti kepada leluhurnya, dengan tujuan agar setiap orang dapat memperoleh 4 (empat) pahala mulia, sesuai yang disebutkan dalam Manawa Dharmasastra: II.121; yang menyatakan bahwa mereka yang tekun berbakti pada leluhurnya akan memperoleh pahala antara lain:
1. Hidup sehat sejahtera (ayu);
2. Berilmu (widya);
3. Mampu berbuat jasa pada sesama hidup ini (yasa); dan
4. Memiliki daya tahan diri yang kuat lahir batin (bala), tersebut.

Demikian juga menurut Sarasamuscaya: 250; ada 4 (empat) pahala orang yang berbakti pada leluhurnya yaitu: ”Abhivaadanasiilasya nityam vrdhopasevinah, Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam”, Maksudnya pahala bagi yang berbakti kepada leluhur ada 4 yaitu:
1.  kirti (kemasyuran);
2. ayusa (umur panjang);
3. bala (kekuatan hidup), dan
4. yasa (berbuat jasa dalam kehidupan). Hal itu akan makin sempurna sebagai pahala berbakti pada leluhur.

Orang-orang yang dikatakan berhasil dalam mempimpin dirinya atau mengenal jati dirinya adalah orang-orang yang tidak mengkhiyanati kebenaran; orang-orang yang tidak mengingkari hati nuraninya; dan orang-orang yang masih dapat menjaga harkat dan martabat serta harga dirinya. Artinya hanya orang-orang yang mampu bersyakurlah yang dapat meraih keberhasilan itu, karena kebenaran itu ada dalam Sang Pencipta.

Mpu atau pemimpin di zaman dulu memang selalu mewartakan sesuatu hanya secara lisan dengan bercerita dan tidak ada yang tertulis. Petuah-petuah yang disampaikannyapun masih harus diwedari karena berbentuk simbul (sanepan/ sanepo) yang memiliki nilai filsafat yang tinggi. Seorang disebut Mpu (ngempu) karena semua petuahnya menjadi panutan dan tuntunan dalam hidup kesehari-hari dalam keluarga atau menjadi, ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani bermasyarakat dan beragama yaitu hubungan diri kita dengan pencipta, sehingga seorang Mpu dapat dikatakan sebagai wali yang dikasihi oleh pencipta kehidupan atau sebagai seorang maharsi, brahmana (Purohito, Pandita).

Dari latar belakang di atas, memahami dan berusaha untuk mengetahui trah dan leluhur atau asal muasal, mengantarkan kita akan mengenal jadi diri dan niat serta harapan dari pendahulu kita, sehingga menyadarkan kita untuk belajar menghormati dan menatanya dengan baik (ngrumati, grawati lan nguri-nguri).