Pura Ratu Penawangan, Desa Sawangan |
Dalem Ktut Ngulesir adalah raja pertama Keraton Swecalingarsapura (Swecapura), Gelgel-Klungkung ini atau putra pertama Mpu Dwijaksana (Pendiri Pura Dalem Dasar Gelgel). Mpu Dwijaksana (Mpu Distaratha) adalah cucu dari Hyang Prabu Udayana Warmadewa dan orang tuanya Dalem Ktut Ngulesir.
Sedikit kita perhatikan sumpah Mahapatih Gajah Mada yang terkenal yaitu bahwa ia tidak akan ”amukti palapa“ sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara. Bali berhasil ia ditundukan pada tahun 1343. Adapun raja pertama yang dinobatkannya yaitu “Dalem Ktut Ngulesir” sebagai raja pertama tahun saka 1302 (tahun 1383 - 1460 masehi), atau jaman Prabu Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389 masehi) atau jaman kemasyuran Kerajaan di Nusantara.
Nama kecilnya beliau adalah I Dewa Ktut Ngulesir yang kemudian bergelar Dalem Ktut Ngulesir, dan disebutkan sebagai pelanjut dinasti Kepakisan, maka raja ini juga bergelar Dalem Ktut Kresna Kepakisan yang memerintah selama kurang lebih 20 tahun. Saat runtuhnya kerajaan Udayana, beliau menyebutkan bahwa nantinya akan ada seorang “Satrio Pinunjul” yang akan menggantikannya dan meneruskan Kerajaan atau Keraton. Akhirnya ramalan dan pernyataannya menjadi kenyataan (sabdo pandito ratu), yaitu berdirilah Keraton Swecalingarsapura yang dipimpin oleh Hyang Dalem Ktut Ngulesir.
Dengan dinobatkannya beliau sebagai raja, Pak De-nya yaitu Hyang Mpu Supa Mandrangki (Waknya, Kakaknya Hyang Mpu Dwijaksana) menghadiahkan sebuah pusaka mulia, beliau adalah seorang Mpu pembuat pusaka yang terkenal di tanah nusantara dan menjadi pembuat pusaka utama kerajaan-kerajaan di tanah nusantara. Adapun pusaka yang dihadiahkan adalah “Kyai Sumpit Jagat” yang dibuat dari bahan meteor dan dengan ritual puasa selama 40 hari - 40 malam di Gunung Bromo, sedangkan kembarannya (mirip dan serupa) yaitu pusaka “Kyai Condong Campur” yang di hadiahkan ke Keraton Majapahit (Prabu Hayam Wuruk). Kedua pusaka tersebut menjadi pusaka utama kerajaan.
2. Raja-II Swecapura
Putra mahkota Dalem Ktut Ngulesir yaitu Dalem Watu Renggong (Dalem Watu Ra Enggong). Beliau dipanggil dengan nama We Enggong dan disebut sebagai juru titik (ahli penerawangan atau ahli menentukan titik/ tempat Keraton atau Pura) dan pandai bernegosiasi, serta gaya kepemimpinannya agar berbeda dengan romonya yang sangat berwibawa sedangkan putranya ahli dalam bernegosiasi. Karena beliau juga ahli penitikan atau penrawangan maka pada jaman kepemimpinannya banyak dibangun keraton dan pura yang dibangunnya yaitu sampai dengan pulau Sumbawa ke timur dan ke barat sampai Pasuruan dan Lumajang. Pusaka yang digunakan untuk melakukan penitikan dimana saja beliau mengkehendaki untuk membangun sebauh Pura/Keraton yaitu dengan menggunakan keris pusaka Keraton yaitu “Kyai Sumpit Jagat” tersebut.
Pada akhir-akhir pemerintahannya, beliau berkeinginan untuk menemui kakeknya di tanah Jawa yang kebetulan menjadi adipati di pesisir utara Kerajaan Majapahit yaitu Sedayu (sekarang menjadi Sidayu, Tuban) untuk bertanya mengapa pusaka yang digunakan untuk melakukan penitikan ini sangat bertuah dan tidak pernah gagal serta sekaligus belajar dan meminta pusaka bertuah lainnya. Akan tetapi dalam perjalanannya yaitu bertepatan pada hari Kamis Legi (Umanis) Dunggulan (Manis Galungan), melalui laut beliau berhenti sejenak karena melihat (sawangane) sebuah lokasi yang sangat Indah di tepi laut yaitu pulau kecil di tlatah Kidul (Selatan) dan beliau mampir atau ke sebuah bukit melalui “Geger” dan menuju kesebuah lokasi dengan Pohon seperti Beringin (Bunut) dan Beliau memutuskan untuk melakukan penitikan untuk sebuah perluasan Keraton (sejenis Padepokan, villa istilah sekarang, Keraton kecil untuk persinggahan dan peristirahatan keluarga Keraton Swecapura). Tetapi apa yang terjadi, pusaka yang digunakan untuk penitikan tersebut amblas ke dalam bumi dan sirna serta tidak seorangpun yang dapat meraiknya dan bahkan telah dikejarnya ke dalam bumi saat itu). Adapun lokasinya disekitar Tugu Penawangan (Pohoh Bunut).
Karena amblasnya pusaka tersebut, maka beliau membatalkan niatnya untuk menemui kakeknya dan mengutus pengabihnya untuk melanjutkan rencana untuk menemui kakeknya. Penitikan diperkirakan pada tahun 1545 dan hari penitikan inilah dijadikan sebagai hari piodalan Pura Penawangan. Adapun masa pemerintah beliau pada abad XVI (sekitar tahun 1550 M) atau antara tahun 1460-1552 Masehi. Gaya kepemimpinannya yang pandai berbicara, bernegosiasi, berpetuah, maka Keraton Gelgel menjadi keraton yang disegani oleh Majapahit dan memiliki wilayah kekuasaan sampai dengan Pasuruan, Puger (Jember), Banyuwangi di Jawa, Sasak (Lombok) dan Sumbawa.
Pada masa pemerintahan beliau ada 3 (tiga) brahmana atau Rsi yang datang dari tanah jawa yaitu 1. Danghyang Angsoka (putranya: Dangyang Astapaka dan Ida Danghyang Soma Kepakisan), 2. Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rawuh, Danghayang Dwijendra) dan 3. Dangyang Dharmo Patmonarotho yang tiba di Bali pada saka 1411 (tahun 1489 masehi) dan menjadi purohito (pemuka agama tertinggi) di Kerajaan Gelgel.
Dengan amblasnya pusaka tersebut, maka mulailah tanda-tanda kesuraman Keraton muncul, seperti saling menyalahkan, dan bahkan adanya tanda-tanda keributan (ontran-ontran) dalam Keraton Gelgel diantara sanak saudara dalam Keraton, akhirnya Hyang Dalem Watu Renggong menyerahkan tahtanya kepada putra mahkotanya yaitu Hyang Dalem Bekung (Raden Pangharsa).
Dari amblasnya pusaka tersebut di Desa Sawangan, beliau sudah mengerahkan abdi-abdinya untuk membangun sebuah Padepokan atau Keraton kecil di Desa Sawangan tersebut untuk tempat persinggahan dan tempat peristirahatan para pejabat Keraton yang ditugaskan untuk mencari dan menemukan pusaka yang amblas tersebut.
3. Raja-III Swecapura
Dalem Bekung (Raden Pangharsa) adalah putra mahkota Hyang Dalem Watu Renggong, beliau memerintah mulai tahun 1552 – 1580. Pada masa kepemimpinan beliau sudah terjadi keributan dalam Keraton, apalagi tapuk kepemimpinan saat dilimpahkan kepada putranya saat usianya masih muda (belum dewasa sebagai pemimpin), sehingga terkesan belum waktunya (wayahe). Untuk itu beliau dibantu oleh paman-pamannya dalam menata dan memimpin Keraton, yaitu I Dewa Gedong Atha, I Dewa Nusa, I Dewa Pangedangan, I Dewa Anggungan, dan I Dewa Bangli.
Masa Pemerintahan Dalem Bekung inilah sebagai awal kesuraman Keraton Swecapura Gelgel. Banyak terjadi keributan, sehingga Kerajaan-kerajaan Gelgel di luar Bali yang pernah dikuasai Romonya (Hyang Dalem Waturenggong) satu per satu melepaskan diri. Pemberontakan juga terjadi di dalam Keraton yang dilakukan oleh “Gusti batan Jeruk” atas ajakan secara diam-diam dari I Dewa Anggungan yang tiada lain adalah pamannya sendiri. Pemberontak ini rencananya untuk menggulingkan dan berusaha mencari dan memperebutkan keris pusaka Kyai Sumpit Jagat yang amblas di Desa Sawangan.
Hyang Dalem Bekung juga diperintahkan romonya untuk mencari dan menarik keris pusaka yang amblas di tlatah kidul tersebut, tetapi beliau tidak mampu dan tidak berhasil, akhirnya beliau kembali lagi ke Keraton. Karena kekurang mampuannya untuk memimpin Keraton, tahta Kerajaannya diserahkan kepada adiknya yaitu Hyang Dalem Sagening.
4. Raja-IV Swecapura
Keraton akhirnya dipimpin oleh adiknya yaitu Hyang Dalem Sagening yang memerintah mulai tahun 1580 – 1665 dengan tujuan agar Keraton Gelgel tidak hancur.
Semasa kepemimpinan beliau inilah Hyang Dalem Bekung yang dibantu oleh adiknya Hyang Dalem Segening serta Romonya Hyang Dalem Watu Renggong meminta bantuan atau petunjuk dari keraton-keraton besar lainnya di Nusantara yaitu ke Majapahit tetapi yang berkembang saat itu yaitu Kerajaan Pajang yaitu Hyang Prabu Hadiwidjaja dan ke Kerajaan Pajajaran yaitu ke Hyang Prabu Surya Kencana. Akan tetapi pada masa ini kedua Kerajaan yang dikunjungi juga dalam menghadapi permasalahan yaitu Hyang Prabu Brawijaya-V (Prabu Kertabhumi) Majapahit ribut dengan putranya Raden Fatah/Radillah Fatah/ Jin Bun (Kerajaan Demak) yaitu putranya sendiri dari Dara Petak (Putri Campa). Kerajaan Pajajaran Hyang Prabu Surya Kencana diserang oleh kerabatnya sendiri yaitu Maulana Malik Ibrahim (Hasanuddin). Dengan demikian batuan yang diharapkan sangatlah sulit. Akhirnya Keraton Swecapura hari demi hari mengalami kemerosotan dan bahkan kehancuran.
Dalam kepemimpinannya yang dipimpin Dalem Segening juga terjadi pemberontakan yaitu yang dilakukan oleh “Krian Pande” sebagai pembalasan atas kegagalan Batan Jeruk. Karena di Keraton secara terus menerus terjadi ontran-ontran maka Hyang Watu Renggong sangat prihatin dengan keadaan tersebut dan akhirnya membuat dirinya menjadi sakit-sakitan dan akhirnya beliau mangkat.
5. Raja-V Swecapura
Akhirnya tahta Keraton diserahkan kepada putranya Hyang Dalem Dimade mulai tahun 1665 – 1686, beliau adalah putra mahkota Hyang Dalem Bekung. Beliau juga diutus melanjutkan tugas (estafet) yang pernah dilakukan Romonya yaitu mencari dan menemukan keris pusaka Keraton Gelgel yaitu keris “Kyai Sumpit Jagat” yang ambles atau ungslep kedalam bumi di Desa Sawangan.
Dulunya jika seseorang bermaksud menuju desa ini harus menyebrangi sungai yang luas dan lebar (jimbar), sehingga sungai ini bernama “Sungai Jimbaran” (sekarang menjadi Desa Jimbaran). Tlatah ini seperti sebuah nusa atau pulau tersendiri atau seperti Nusa Penida dan pulau ini merupakan patahan dari peseisir selatan alas Purwa Banyuwangi.
Dalam masa pemerintahannya, ada seorang tamu besar dari tlatah Kulon (Barat) yaitu dari Keraton Pejajaran yaitu Hyang Prabu Surya Kencana berkunjung ke Keraton Swecapura untuk menindaklanjuti (kunjungan balasan) yang dilakukan Hyang Dalem Bekung. Sesampainya di Keraton Swecapura, tamu ditemui oleh Dalem Bekung, karena Dalem Dimade banyak bertempat tinggal di Desa Sawangan bersama istrinya. Karena tamunya menjadi sangat binggung karena di dalam Keraton terjadi ontran-ontran, sehingga tamunya diantar dan diselamatkan/diamankan di Desa Sawangan dan sekaligus menemui putranya yang juga telah menggantikan tahtanya.
Untuk mengenang dan mengingat desa tersebut dan agar para keturunannya nanti memahami atau mengetahui asal muasal nama desa tersebut, maka nama desa ini disebut “Desa Penawangan”. Nama desa ini juga diberikan kepada desa dimana putrinya bertempat tinggal yaitu di kaki gunung Cermai, sebelah utara Kawali/Galuh Ciamis (air manis). Sedangkan dulunya Desa ini disebut Desa Penawangan (Desa Penitikan) karena dilihat (disawang) lokasinya sangat indah, dan sekarang berubah nama menjadi ”Desa Sawangan” karena masalah dialek dan sebagai bukti bahwa nama tersebut masih ada bangunan sebuah Tugu atau Pura yang disebut ”Ratu Penawangan”
Agar anak turunannya nanti mengenal sejarah desa ini, maka tamu dari Keraton Pajajaran memberikan nama Desa Penawangan. Sebelumnya disebut Desa Penrawangan (Penitikan) karena di lokasi ini dilakukan penerawangan atau penitikan untuk pembangunan perluasan Keraton Swecapura. Akhirnya nama Desa Penawangan menjadi Tugu (tanda, patok) atau Pura Penawangan saat ini, sedangkan Desanya menjadi Desa Sawangan (melihat, menitik, menrawang). Akhirnya nama Penawangan, juga dipakainya pada sebuah Desa di lereng gunung Cereme atau di sebelah Utara Keraton Galuh Kawali Ciamis.
Beliau sering tinggal di Desa Sawangan selain membawa amanah leluhurnya yaitu mendapatkan pusaka Kyai Sumpit Jagat, juga karena alasan keluarga yaitu untuk keselamatan istri dan putra-putranya, Beliau menikahi putri Hyang Purohito Dharmo Patmonarotho yang bernama Hyang Sukaesih, dan selama hidupnya Hyang Sukaesih tidak pernah dibawa atau hidup di Keraton Swecapura Gelgel, melainkan selamanya hidup dan membesarkan putra-putranya di Keraton Penawangan. Dulunya posisi Keraton adalah disebelah Lor (Utara) pohon Bunut, tugu Penawangan dan pohon Bunutnya adalah halaman Keraton, dan dihalaman ada Pedopo yang saat ini dijadikan Bale Banjar, untuk tetap nyungsung/nguri-nguri Keraton Swecapura dari Keraton Penawangan maka dibangunlah sebuah Pura Pengastulan disebelah Timur istana. Adapun para patih (arya) atau kesatrianya diberikan tempat disebelah kanannya (saat ini ada warga Arya Penatih disebelah kanan istana), sedangkan Pura Dadya adalah tempatnya di Utara Istana. Jadi aset yang masih tinggal dan menjadi bukti peninggalan adalah: Bale Banjar (dulunya Pendopo Istana), Pura Desa (Pengastulan), Sanggah natah (Tugu Ratu Penawangan dan Pohon Bunutnya), Pura Dadya (Kemulan=yang awal/pertama) dan warga arya di sebelah kanan (maaf kalau salah sebut: Kak Centong). Bukti lain yaitu hampir 90% warga Desa Sawangan mengikuti persembahyangan di Pura Dadya (dapat dipastikan semua anak-turunan yang ada di Desa Sawangan apakah dulunya menjadi sisya/abdi, pengabih dan lain sebagainya termasuk keturunan langsung dari Keraton menjadikan Pura Dadya Keraton sebagai Pura Kemualan bersama, walaupun saat ini masing-masing perkumpulan membuat Pura Kemulan sendiri-sendiri.
Untuk membantu tugas Hyang Dalem Dimade untuk mendapatkan pusaka yang ambles tersebut, beliau dibantu mertuanya yaitu Danghyang Dharmo Patmonarotho (adik Dangyang Nirartha) dan pastinya dibantu oleh pengikut-pengikutnya (keluarga, pengabih dan abdi-abdinya) dari Puri Swecapura, akan tetapi pusaka tersebut tidak juga kunjung diangkat dari dalam bumi. Di Keraton Penawangan telah mendapatkan putra sebanyak 3 putra artinya semuanya di lahirkan di Desa Sawangan. Adapun Putra-putranya yaitu: 1. Dalem Agung Mayun; 2. Dalem Agung Bagelan; dan 3. Dalem Agung Jambe. Semua ari-arinya ketiga putranya ditanam di Desa Sawangan, sehingga penerus Keraton Swecapura yang saat ini menjadi Keraton Smarapura Klungkung adalah kelahiran Desa Sawangan atau kawitan puri dapat dikatakan Desa Sawangan. Setelah memasuki usia agak dewasa, putra pertamanya sering diajak romonya ke Keraton Swecapura, sedangkan putra keduanya diminta untuk menemani Ibunya di Desa Sawangan, sedangkan putra ketiganya dititipkan ke pamannya yaitu Ki Bagus Sidemen.
Dari sejarah di atas, menunjukkan bahwa kaki pulau Bali (Tlatah Kidul Keraton Swecapura) dipimpin dari Desa Sawangan, sehingga Sawangan tidak dapat dipisahkan dari Desa Kutuh, Desa Kampial, Desa Ungasan, Desa Pecatu sampai dengan Pura Uluwatu (Apa hubungan antara Pura Ratu Penawangan dengan Pura Uluwatu) dan beberapa desa pesisir yaitu Peminge, Penyarikan sampai dengan Desa Tanjung. Sawangan merupakan sebuah Keraton penting dan sebuah desa yang sangat sacral serta desa spiritual, untuk itu bagaimana keajegan Desa Sawangan dapat ditata dengan benar sesuai niat pendiri Desa terdahulu (Hyang Dalem Watu Renggong). Bukti kebesaran Desa Sawangan adalah datangnya beberapa penduduk luar yang senantiasa melakukan sembahyang di Pura Pengastulan dan Pura Barong-barongan (Pura Karang Boma).
Karena Beliau (Dalem Dimade) sering pulang-pergi Keraton, sehingga kepemimpinan Keraton pada umumnya dipercayakan kepada pengabihnya yaitu I Gusti Agung Maruti. Banyak pembesar-pembesar Keraton lainnya merasa kecewa dengan sikap dan kepemimpinan Dalem Dimade, karena terlalu berlebihan mempercayakan kepada seseorang pengabih saja. Dengan kepercayaan inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh I Gusti Agung Maruti untuk menggulingkan pemerintahan Dalem Dimade. Usaha ini ternyata berhasil dan mampu menggulingkan pemerintahan Dalem Dimade. Akhirnya Dalem Dimade menyelamatkan saudara-saudaranya yang ada di Keraton Gelgel yaitu sekitar 300 orang termasuk orang-orang yang masih setia kepada kepemimpinan Hyang Dalem Dimade. Perpindahannya ini dibantu oleh ketiga putra-putranya dan diselamatkan ke desa Guliang (Giayar saat ini). Disinilah Dalem Dimade (1680-an) meneruskan Keraton yang pernah ditinggalkan leluhurnya (Hyang Dalem Ktut Ngulesir) dulu yaitu Keraton Samprangan Gianyar. Keraton ini diteruskan oleh putra mahkotanya yaitu I Dewa Agung Mayun yaitu sebagai cikal bakal dinasti Mayun yang muncul setelah generasi kedua dan yang membangun Keraton-keraton pusat kekuasaan di Tampaksiring, Pejeng, dan Kerajaan Payangan (1735 – 1843).
Dengan berkuasanya Maruthi di Keraton Gelgel, maka membuat Bali terpecah-pecah menjadi beberapa Kerajaan seperti: Kerajaan Den Bukit, Mengwi, Gianyar, Badung, Tabanan, Payangan dan Bangli dan semuanya menyatakan diri merdeka. Keadaan inilah yang menjadikan situasi dan kondisi yang sangat memprihatinkan dan akhirnya Dalem Dimade mengajak putra-putranya untuk melakukan perlawanan dengan Maruthi. Strategi ini diatur dari Keraton Guliang (sekarang Gianyar).
Selama Dalem Agung Bagelan di Desa Sawangan, beliau terus melatih diri dengan berbagai kanuragan dan akhirnya beliaulah yang mampu menarik pusaka yang ambles dari dalam bumi, sehingga pusaka inilah yang menjadi pusaka utamanya yang dulunya menjadi pusaka utama Keraton Swecapura baik saat pemerintahan eyangnya (Dalem Ktut Ngulesir, Dalem Watu Renggong), beliau juga belajar kanuragan sampai ke kerajaan Majapahit dan Pajajaran (Jawa Barat).
Beliau hidup dan membangun keluarganya di Desa Sawangan (Keraton Penawangan) yang ditemani oleh Ibunya (Hyang Sukaesih). Beliau mempunyai 2 orang putra yaitu: Dalem Puba Agung dan Dalem Purba Ageng.
Hampir selama 35 tahun Keraton Gelgel dipimpin oleh Gusti Maruthi, dan tidak ada seorangpun yang melakukan perlawanan dengannya, dan bahkan putra-putranyapun tidak mau melakukan perlawanan untuk merebut kekuasaannya Maruthi. Dengan dukungan para pembesar Keraton, maka Hyang Dalem Dimade bersama-sama ketiga putranya menjadi tergugah untuk mengembalikan kerajaan kepada dinasti Kepakisan. Semangat inilah yang memotivasi dan menggugah perjuangan putra-putranya untuk merebut kembali kekuasaan dan Keraton Gelgel dari tangan Maruthi. Untuk itu perjuangan dipelopori oleh tiga orang putranya yaitu 1. Angger Dalem Agung Mayun (dengan pusaka Kyai Tondo Langlang); 2. Angger Dalem Agung Bagelen (dengan pusaka Kyai Sumpit Jagat), dan 3. Angger Dalem Agung Jambe (dengan pusaka Kyai Sumo Joyo) yang dibantu oleh tiga pejabat dalam keraton yaitu Panji Sakti, Ki Bagus Sidemen, dan Jambe Pile (Puri Badung). Adapun Hyang Dalem Dimade menggunakan pusaka Kyai Maruthoaji, dan strategi penyerangan terhadap Maruthi dilakukan dari tiga arah (lini) secara serentak yang membuat Maruthi dan pengikutnya tidak sanggup mempertahankan Gelgel. Maruthi berhasil melarikan diri ke Jimbaran kemudian memilih bermukim di Alas Rangkan. Adapun putra-putrinya ada menikah dengan Puri Jimbaran, ada di Puri Mengwi dan ada yang ke Negara.
Hyang Sukaesih pada masa hidupnya, pernah berpesan kepada anak cucunya yaitu jika meninggal nanti, agar mayatnya dikubur di Pemakamam Umum di Klungkung tetapi tidak mau dikubur di lingkungan kuburan Keraton, pesan inipun telah dijalankan oleh anak, cucunya yang menemani semasa hidupnya di sebuah Keraton kecil di Desa Penawangan.
Kemenangan untuk melawan I Gusti Agung Maruthi telah membuat kharisma dan wibawa dinasti Kepakisan kembali pulih, Romonya (Dalem Dimade) meminta Dalem Bagelan untuk meneruskan Kerajaan (Puri Swecapura) akan tetapi beliau menolaknya karena beliau tidak mau melihat keraton akan lebih hancur dikemudian hari karena telah disadari bahwa dirinya menjadi pusat yang diperhitungkan oleh musuh-musuh sehingga akan dapat terjadi balas dendam dan keraton akan menjadi pusat peperangan, sehingga atas petunjuk kakaknya (Dalem Bagelan) dan kesepakatan bersama dengan Romonya, maka untuk mengisi pemerintahan ditunjuklah adiknya yaitu Sri Agung Jambe (putra bungsu Dalem Dimade) sebagai raja penerus Puri Swecapura yang selama ini diasuh oleh Anglurah Singharsa. Tetapi atas saran Ki Gusti Sidemen, pusat kerajaan tidak lagi di Gelgel, dan dipindahkan ke Desa Klungkung dengan nama “Keraton Smarajaya atau Smarapura”. Alasan perpindahan keraton ini diperkirakan karena keraton Swecapura Gelgel secara fisik sudah rusak akibat seringnya terjadi pemberontakan pada tahun 1651 Masehi, serta dianggap sudah tidak memiliki wibawa lagi sebagai pusat pemerintahan. Kini semua pusaka-pusaka kebesaran dinasti Kepakisan yang dibawa dari Majapahit sudah dipegang oleh Sri Agung Jambe (mulai tahun 1704).
Adik ragilnya ini tidak mau lagi menggunakan predikat “Dalem”, maka saat beliau diangkat menjadi raja Klungkung-I, tahun 1686 M bergelar “Dewa” dengan tujuan selain untuk melepaskan keterikatannya dengan Majapahit dan Keraton Gelgel sudah tidak berbentuk atau berwujud lagi.
6. Dalem Bagelan (Raja-I Puri Penawangan)
Untuk menghilangkan jejak ini serta konsisten dengan strategi awal, maka Dalem Bagelen meminta adiknya yang ragil untuk meneruskan kepemimpinan Keraton Gelgel (Smarapura saat ini), sedangkan Keraton Tampaksiring (Guliang) diserahkan kepada kakaknya. Dalem Bagelen tetap menyembunyikan identitasnya dan menemani Ibunya (Hyang Sukaesih) di Desa Penawangan sekaligus meneruskan Puri atau Keraton Kecil Swecapura di Desa Sawangan dan beliaulah disebut sebagai Pemimpin pertama Puri Penawangan. Demikian juga adik iparnya Raden Undaka Lagensari yang memperistrikan Nyi Mas Purbakencana sebagai pemimpin Puri Penawangan Kawali Ciamis Jawa Barat.
Beberapa lama kemudian Romonya meninggal dunia di Keraton Tampaksiring Gianyar, sedangkan istrinya (Hyang Sukaesih) sempat menemani putranya dan melihat cucunya yang juga lahir dan di besarkan dalam Puri Penawangan, setelah beberapa lama kemudian Ibunya meninggal dunia di Desa Penawangan akan tetapi almarhum ibunya semasih hidup meminta kepada putranya agar dapat dimakamkan di Kuburan Umum Gelgel atau diluar keluarga Puri.
Untuk menjaga hubungan baik Romonya dan juga Kakeknya, maka Dalem Bagelan diminta mantu oleh Hyang Prabu Surya Kencana (Raja Pajajaran-VI) untuk putri pertamanya yang bernama Hyang Nyi Mas Purbaningrum. Untuk keselamatan putri dan mantunya, Hyang Dalem Bagelan memboyong permaesurinya ke tlatah Wetan (Desa Sawangan) dan hidup serta membangun rumah tangganya di Desa Sawangan.
Berikut ini ada sebuah candi seperti Candi Cangkuang di Garut yang dibangun oleh warga Hindu dan dukungan warga Karuhunan, Kesanghyangan, Kebetaraan Pajajaran yang tujuannya untuk menguri-nguri beliau.
Pura Parahyangan Jagatkarta Gunung Salak-Bogor
Candi sebelah kiri untuk pemujaan Kanjeng Prabu Jaya Dewata ( Hyang Maha Prabu Sri Baduga Raja Siliwangi Wisesa, Prabu Siliwangi-IV, Pendiri Pajajaran atau Raja Pajajaran-I )
Dari beberapa peristiwa tersebut lama-kelamaan keberadaan Dalem Bagelen diketahui juga oleh musuh-musuh Puri Swecapura (yaitu seseorang yang dicari karena mampu menumpas pemberontak Puri (I Gusti Agung Maruthi, dkk.) yang disebutkan sebagai seorang sakti madraguna). Mengingat beliau telah menyadari bahwa ada beberapa musuh-musuhnya sudah ada dan menyusup ke Desa Sawangan, maka untuk menghindari terjadinya ontran-ontran (peperangan balas-dendam) berkelanjutan dan dapat menyebabkan habisnya keturunan serta merugikan banyak pihak yang semuanya masih ada keterkaitan keluarga, maka Dalem Bagelen bersama keluarganya (istri dan anak-anaknya) menyirnakan atau meratakan Keraton kecilnya di Desa Penawangan.
Akhirnya untuk tujuan baik, beliau meninggalkan Purinya yang sudah diratakan dan juga Desanya untuk menuju wilayah Kerajaan mertuanya yaitu Pajajaran-Jawa Barat akan tetapi batal dan berniat untuk melanjutkan ke sebuah Desa di sebelah utara Keraton Galuh-Kawali Ciamis yaitu tempat adik istrinya Nyi Mas Purba Kencana yang dinikahi oleh Raden Undaka Langensari (Eyang Nagarapageuh) putranya Hyang Poncodrio (Majapahit), akan tetapi beliau akhirnya berhenti disebuah Desa kecil tanpa nama, karena Kerajaan Pajajaran sudah dikuasai oleh Banten akibat serangan Demak dan Cirebon. Akhirnya oleh penduduk setempat yang mengenal beliau, maka Desa tempat tinggalnya diberi nama ”Desa Bagelen”. Lama kelamaan Desa ini berkembang menjadi Keresidenan dan sekarang menjadi Kabupaten Purworejo. Seusai Perang Diponegoro tahun 1830, Kadipaten Bagelen dipecah menjadi 4 (empat) wilayah oleh Kolonial Belanda, yaitu: Kadipaten Brengkelan (Kabupaten Purworejo mulai Tahun 1831), Kadipaten Semawung (Kutoarjo), Kadipaten Kutowinangun atau Remo Jatinegara atau Karangduwur (Karanganyar), dan Kadipaten Urut Sewu atau Ledok, Ngaran (Wonosobo).
Selama beliau menetap dipesisir selatan (Kidul) pulau Jawa yaitu di Kabupaten Purworejo sampai + akhir tahun 1690-an, selanjutnya karena beliau merasa sudah lanjut, maka beliau meninggalkan Desa ini bersama istrinya menuju lereng timur (Sragen/Pororogo) Gunung Lawu dan meninggalkan putra keduanya yang tidak mau mengikuti jejak romonya.
Putra keduanya (Dalem Purbo Ageng) di Tlatah Jawa (Desa Bagelan/Purworejo) tidak menikah atau menjadi brahmacari atau mengembara dan sebagai pinandita ke arah barat yaitu pesisir pantai Selatan (Kidul) yaitu lereng Gunung Srandil Cilacap berbatasan dengan wilayah Purwokerto, dan beliau mengakhiri masa hidupnya di sebuah Gua Suwoko Gunung Srandil tersebut. Beliau diparengi “Pusaka Tombak Ki Purbu Waseso” dari Kakeknya Hyang Prabu Surya Kencana.
Untuk mengenang kebesaran nama Desa ini, maka dalam perintahan Adipati Tjokronagoro I (Bupati Purworejo pertama), dibuatkanlah sebuah Bedug terbesar di dunia yang ditempatkan dalam Masjid Darul Muttaqien, yang dibuat pada tahun 1762 Jawa atau 1834 M, yang diberi nama Bedug Kyai Bagelen.
Untuk mengenang kebesaran nama Desa ini, maka dalam perintahan Adipati Tjokronagoro I (Bupati Purworejo pertama), dibuatkanlah sebuah Bedug terbesar di dunia yang ditempatkan dalam Masjid Darul Muttaqien, yang dibuat pada tahun 1762 Jawa atau 1834 M, yang diberi nama Bedug Kyai Bagelen.
Diyakini sampai sekarang bahwa bedug ini disebutkan sebagai satu-satunya bedug yang mempunyai ukuran paling besar dibuat dari kayu jati utuh, tanpa ada sambungan sedikit pun. Bahkan mungkin menjadi bedug terbesar di Indonesia, boleh jadi di Asia Tenggara ataupun di Seluruh Dunia. Bedug ini dibuatkan duplikatnya dan dipasang di mesjid Atin TMII.
Catatan penting, yaitu bahwa hilangnya keris Kyai Condong campur menandakanberakhirnya kerajaan Majapahit, dan hilangnya Keris Kyai Sumpit Jagat (gambar pusaka di atas) menandakan berakhirnya kerajaan Swecapura-Klungkung yaitu berkisar tahun 1400-an.
7. Dalem Purbo Agung (Raja-II Puri Penawangan)
Adapun yang ditinggal di Desa Penawangan hanyalah putra tertuanya (Dalem Purbo Agung). Beliau menikahi seorang putri Tengger Gunung Bromo yaitu Roro Gayatri yaitu adiknya Roro Rumpiasih (salah satu putri dari Hyang Roro Anteng dan Joko Seger yang menjadi nama Desa Tengger) yang dinikahi oleh Ki Ageng Sastro (Putra Majapahit). Beliau menempati sebuah rumah biasa (bukan sebuah puri) dengan tujuan mehilangkan jejak musuh-musuh Puri Swecapura yang hendak menghabiskan keturunannya. Beliau akhirnya dapat hidup dan membesarkan putri-putrinya di Desa Sawangan, yaitu Roro Ayu Komang dan Roro Ayu Wandira.
Setelah putrinya besar-besar dan memasuki usia dewasa, Beliau berpesan dan meminta agar putri-putrinya mencari jodoh di Desa ini serta dapat merahasiakan keberadaan keturunannya dan leluhurnya, karena musuh-musuh leluhurnya terus mencari keberadaannya. Saat putri pertamanya memasuki usia dewasa, keluarga dari Keraton Smarapura hendak meminangnya menjadi permaisuri, tetapi maksud ini berusaha untuk ditolaknya agar pihak musuh tidak mengetahui keberadaanya dan menghindari terjadinya ontran-ontran berkelanjutan, sehingga putrinya dijodohkan dengan putra tertua kakak iparnya yaitu Ki Ageng Paromo Jalu.
Beliau bersaudara laki-laki 3 orang yaitu adiknya bernama Ki Ageng Paromo Griya dan paling ragil Ki Ageng Paromo Sastro (Ki Purna Surya), tawaran yang diajukan bapaknya diterima karena Hyang Roro Ayu Komang yakin bahwa siapapun yang menjadi pilihan orang tuanya diyakini yang terbaik untuk diri dan keluarganya serta sebagai wujud hormat dan taat kepada Romo. Sedangkan adiknya (Hyang Roro Ayu Wandira) menikahi Ki Belah Batuh (peduduk asli Desa Sawangan dan tinggal di Timur Puri Penawangan, yaitu di daerah Pura Batu Madeg atau Pura Batu Belig) sehingga jejaknya diharapkan tidak dapat dilacak oleh pemberontak yang hendak menghabiskan keturunannya. Kakaknya berpesan kepada adiknya agar adiknya dapat mengurus sisa-sisa Keraton/Puri Penawangan, sehingga menjadi kewajiban keturunannya menjadi Pemangku di Pura Ratu Penawangan. Adiknya juga disediakan sebidang tanah untuk rumah tinggalnya dekat Puri yaitu disebelah Kulon (Barat) Puri Penawangan.
Setelah putrinya dijodohkan dengan keponaannya juga dari sepupunya, maka beliau bersama istrinya meninggalkan Desa Sawangan dan meninggalkan putri-putrinya yaitu menuju Desa Tengger Bromo, yang akhirnya beliau menghabiskan masa hidupnya di sekitar lereng Gunung Bromo.
8. Nyineb Wangsa.
Setelah tidak adanya bangunan puri yang masih berdiri, beliau (Ki Ageng Paromo Jalu dan istrinya) bertempat tinggal dibekas rumah tinggal romonya dan akhrinya beliau dapat membuat keturunan. Adapun putra-putrinya adalah Ki Ageng Griya (Dalem Griya) dan Roro Ayu Ratri (Ni Ratri). Saat putra-putrinya menginjak usia belasan tahun, maka malapetaka tidak dapat dihindari, yaitu beliau diculik oleh anak buah pemberontak sebanyak + 20 perwira perang yang lengkap dengan persenjataan datangnya diperkirakan dari luar Desa (dari Jimbaran yaitu tempat pengikut I Gusti Agung Maruthi bercokol) dan adanya pemata-mata yang tinggal di Desa Sawangan untuk memberikan informasi keberadaan dari keturunan Dalem Bagelan. Beliau dan keluarganya dibawa ke pesisir Kidul (Selatan) Desa Sawangan yaitu tepatnya di Tanah merah Gunung Payung. Disinilah beliau dihakhiri dan sungguh sangat ajaib serta menjadi muzijat yaitu Hyang Dalem Griya (Wayan Griya) dapat menyelamatkan diri atau lolos dari pembantaian tersebut, usianya + 15 tahun saat itu.
Mendengar peristiwa tersebut, serentak adik-adiknya Ki Ageng Paromo Jalu yaitu Ki Ageng Paromo Griya dan Ki Ageng Paromo Sastro membantu dan membela kakaknya, akan tetapi apa boleh buat bantuan baru datang setelah beberapa hari kemudian dan akhirnya Ki Ageng Paromo Griya juga tewas karena tipu muslihat musuh serta kurangnya persiapan perang. Satu-satunya adiknya yang ragil yaitu Ki Ageng Paromo Sastro dapat menyelamatkan diri dan bersembunyi di Tebing Timur Pura Gunung Payung. Untuk itu, beliau berujar dan mendirikan sebuah Pura Dauh Margi, nama Pura ini diambil karena bertempat tinggal di dauh margi atau sebelah barat jalan menuju Puri Penawangan atau Pura Ratu Penawangan (Jadi siapapun yang menjadi anak turunannya wajib untuk menguri-nguri Pura tersebut). Peristiwa tragis ini diperkirakan terjadi tahun 1878. Mulai tahun inilah rumah sisa-sisa Keraton yang sudah dimusnahkan ditinggalkan secara resmi oleh keluarga Keraton, kecuali para pengabihnya (warga kesatria) yang masih tinggal disekitar wilayah Puri (Keraton Penawangan).
Selanjutnya strategi yang sangat tepat yang harus dilakukan yaitu “nyineb wangsa”. Ki Ageng Paromo Sastro nyineb wangsa menjadi Ki Purna Surya yang memperistri 3 orang putri Desa Sawangan (salah satunya Ni Pamiarsih yang sekarang menurunkan cicit-cicitnya yaitu Letong, Ledeng, Leder, Sarya). Semua anak turunan menjadi penguri-nguri Pura Dauh Margi Gunung Payung, dan karena leluhur kami dari Majapahit sudah memeluk agama lain, maka kawitannya mencari peninggalan Majapahit di daerah Batukaru (wilayah Barat Bali).
Demikian juga Ki Ageng (Dalem) Griya juga nyineb wangsa dan berganti nama menjadi Wayan Griya, semua ini tujuannya untuk menyelamatkan anak turunannya. Usaha nyineb wangsa ini tidak saja dilakukan oleh keluarga Puri/Keraton, akan tetapi diikuti oleh pengabihnya (para kesatrianya) yaitu keluarga-keluarga seperti anak turunannya Kak Centong, Kak Dharma dan juga lainnya.
Akhirnya Wayan Griya sebagai satu-satunya putra yang masih hidup dan selamat sebagai keturunan Trah Dalem Watu Renggong (Keraton Swecapura-Gelgel), Trah Prabu Brawijaya (Keraton Majapahit), dan Trah Prabu Surya Kencana (Prabu Siliwangi Keraton Pajajaran) di Desa Penrawangan. Strategi nyineb wangsa ini dipegangnya kuat-kuat dan bahkan putra-putrinya sendiri tidak mengetahui siapa sesungguhnya romonya atau putra dari siapa ? (tidak seorangpun mengetahui jawaban ini terbukti putra-putri dan turunannya mengikuti “Kawitan” apa yang dilakukan oleh warga lain di Desa Sawangan). Komitmen ini dipegangnya dengan konsisten karena beliau menyadari adanya musuh-musuh Keraton yang membaur menjadi penduduk Desa Sawangan sampai saat ini. Karena situasi politik, ekonomi dan sosial budaya saat ini tidak lagi seperti jaman Kerajaan dulu, maka rahasia (wadi) tentang sejarah Kekerajaan dan Kekeratonan di atas mulai dibuka dan dikuak saat ini.
Hyang Wayan Griya mempunyai 2 orang istri yaitu Nenek/Dong Kitik (Munek) yang mempunyai 2 orang anak yaitu: Wayan Regug (Resen) dan Ni Mde Puri (Peri); dan Istri kedua (Dong Rasmi) mempunyai anak 1 wanita dan 3 laki-laki, yaitu Ni Wayan Rabig (Ronci), Mde Deger (Roden), Nyoman Sepel (Seput), Ktut Sepil (Setel). Jadi kawitan semua keluarga seharusnya ke Puri Majapahit atau Puri Pejajaran, akan tetapi Puri dan pengikutnya sudah menganut agama lain, maka kawitannya menjadi Puri Smarapura (Klungkung).
Akhirnya lokasi bekas Puri ini baru mulai berani ditempati kembali oleh salah satu anak turunannya atas persetujuan romonya. Adapun putranya yang meneruskannya yaitu Made Deger dan istrinya tahun 1960.
Akan tetapi tanah yang masih disisakan oleh warga lainnya yaitu seluas + 200 m2 karena tanah/lokasi sudah ditinggalkan selama 80 tahunan (waktu yang sangat lama atau + 3 generasi, sehingga dapat dipastikan antar generasi ketiga tidak akan saling mengenal dari keluarga siapa, dan apalagi asal muasalnya dari keluarga nyineb wangsa) dan dari tanah seluas tersebutlah mulai dibangunnya sebagai tempat tinggal. Efektif keluarga baru menempati rumah yang baru dibangunnya tersebut pada akhir tahun 1962 (sebelum Gunung Agung meletus April 1963). Sebelum rumah ini ditempati, Romonya meninggal dunia di Desa Gunung Payung di sebuah desa terpencil di Kidul (Selatan) Desa Sawangan yaitu tempat dimana beliau nyineb wangsa.
Adapun yang ditinggal di Desa Penawangan hanyalah putra tertuanya (Dalem Purbo Agung). Beliau menikahi seorang putri Tengger Gunung Bromo yaitu Roro Gayatri yaitu adiknya Roro Rumpiasih (salah satu putri dari Hyang Roro Anteng dan Joko Seger yang menjadi nama Desa Tengger) yang dinikahi oleh Ki Ageng Sastro (Putra Majapahit). Beliau menempati sebuah rumah biasa (bukan sebuah puri) dengan tujuan mehilangkan jejak musuh-musuh Puri Swecapura yang hendak menghabiskan keturunannya. Beliau akhirnya dapat hidup dan membesarkan putri-putrinya di Desa Sawangan, yaitu Roro Ayu Komang dan Roro Ayu Wandira.
Setelah putrinya besar-besar dan memasuki usia dewasa, Beliau berpesan dan meminta agar putri-putrinya mencari jodoh di Desa ini serta dapat merahasiakan keberadaan keturunannya dan leluhurnya, karena musuh-musuh leluhurnya terus mencari keberadaannya. Saat putri pertamanya memasuki usia dewasa, keluarga dari Keraton Smarapura hendak meminangnya menjadi permaisuri, tetapi maksud ini berusaha untuk ditolaknya agar pihak musuh tidak mengetahui keberadaanya dan menghindari terjadinya ontran-ontran berkelanjutan, sehingga putrinya dijodohkan dengan putra tertua kakak iparnya yaitu Ki Ageng Paromo Jalu.
Beliau bersaudara laki-laki 3 orang yaitu adiknya bernama Ki Ageng Paromo Griya dan paling ragil Ki Ageng Paromo Sastro (Ki Purna Surya), tawaran yang diajukan bapaknya diterima karena Hyang Roro Ayu Komang yakin bahwa siapapun yang menjadi pilihan orang tuanya diyakini yang terbaik untuk diri dan keluarganya serta sebagai wujud hormat dan taat kepada Romo. Sedangkan adiknya (Hyang Roro Ayu Wandira) menikahi Ki Belah Batuh (peduduk asli Desa Sawangan dan tinggal di Timur Puri Penawangan, yaitu di daerah Pura Batu Madeg atau Pura Batu Belig) sehingga jejaknya diharapkan tidak dapat dilacak oleh pemberontak yang hendak menghabiskan keturunannya. Kakaknya berpesan kepada adiknya agar adiknya dapat mengurus sisa-sisa Keraton/Puri Penawangan, sehingga menjadi kewajiban keturunannya menjadi Pemangku di Pura Ratu Penawangan. Adiknya juga disediakan sebidang tanah untuk rumah tinggalnya dekat Puri yaitu disebelah Kulon (Barat) Puri Penawangan.
Setelah putrinya dijodohkan dengan keponaannya juga dari sepupunya, maka beliau bersama istrinya meninggalkan Desa Sawangan dan meninggalkan putri-putrinya yaitu menuju Desa Tengger Bromo, yang akhirnya beliau menghabiskan masa hidupnya di sekitar lereng Gunung Bromo.
8. Nyineb Wangsa.
Setelah tidak adanya bangunan puri yang masih berdiri, beliau (Ki Ageng Paromo Jalu dan istrinya) bertempat tinggal dibekas rumah tinggal romonya dan akhrinya beliau dapat membuat keturunan. Adapun putra-putrinya adalah Ki Ageng Griya (Dalem Griya) dan Roro Ayu Ratri (Ni Ratri). Saat putra-putrinya menginjak usia belasan tahun, maka malapetaka tidak dapat dihindari, yaitu beliau diculik oleh anak buah pemberontak sebanyak + 20 perwira perang yang lengkap dengan persenjataan datangnya diperkirakan dari luar Desa (dari Jimbaran yaitu tempat pengikut I Gusti Agung Maruthi bercokol) dan adanya pemata-mata yang tinggal di Desa Sawangan untuk memberikan informasi keberadaan dari keturunan Dalem Bagelan. Beliau dan keluarganya dibawa ke pesisir Kidul (Selatan) Desa Sawangan yaitu tepatnya di Tanah merah Gunung Payung. Disinilah beliau dihakhiri dan sungguh sangat ajaib serta menjadi muzijat yaitu Hyang Dalem Griya (Wayan Griya) dapat menyelamatkan diri atau lolos dari pembantaian tersebut, usianya + 15 tahun saat itu.
Mendengar peristiwa tersebut, serentak adik-adiknya Ki Ageng Paromo Jalu yaitu Ki Ageng Paromo Griya dan Ki Ageng Paromo Sastro membantu dan membela kakaknya, akan tetapi apa boleh buat bantuan baru datang setelah beberapa hari kemudian dan akhirnya Ki Ageng Paromo Griya juga tewas karena tipu muslihat musuh serta kurangnya persiapan perang. Satu-satunya adiknya yang ragil yaitu Ki Ageng Paromo Sastro dapat menyelamatkan diri dan bersembunyi di Tebing Timur Pura Gunung Payung. Untuk itu, beliau berujar dan mendirikan sebuah Pura Dauh Margi, nama Pura ini diambil karena bertempat tinggal di dauh margi atau sebelah barat jalan menuju Puri Penawangan atau Pura Ratu Penawangan (Jadi siapapun yang menjadi anak turunannya wajib untuk menguri-nguri Pura tersebut). Peristiwa tragis ini diperkirakan terjadi tahun 1878. Mulai tahun inilah rumah sisa-sisa Keraton yang sudah dimusnahkan ditinggalkan secara resmi oleh keluarga Keraton, kecuali para pengabihnya (warga kesatria) yang masih tinggal disekitar wilayah Puri (Keraton Penawangan).
Selanjutnya strategi yang sangat tepat yang harus dilakukan yaitu “nyineb wangsa”. Ki Ageng Paromo Sastro nyineb wangsa menjadi Ki Purna Surya yang memperistri 3 orang putri Desa Sawangan (salah satunya Ni Pamiarsih yang sekarang menurunkan cicit-cicitnya yaitu Letong, Ledeng, Leder, Sarya). Semua anak turunan menjadi penguri-nguri Pura Dauh Margi Gunung Payung, dan karena leluhur kami dari Majapahit sudah memeluk agama lain, maka kawitannya mencari peninggalan Majapahit di daerah Batukaru (wilayah Barat Bali).
Demikian juga Ki Ageng (Dalem) Griya juga nyineb wangsa dan berganti nama menjadi Wayan Griya, semua ini tujuannya untuk menyelamatkan anak turunannya. Usaha nyineb wangsa ini tidak saja dilakukan oleh keluarga Puri/Keraton, akan tetapi diikuti oleh pengabihnya (para kesatrianya) yaitu keluarga-keluarga seperti anak turunannya Kak Centong, Kak Dharma dan juga lainnya.
Hyang Wayan Griya mempunyai 2 orang istri yaitu Nenek/Dong Kitik (Munek) yang mempunyai 2 orang anak yaitu: Wayan Regug (Resen) dan Ni Mde Puri (Peri); dan Istri kedua (Dong Rasmi) mempunyai anak 1 wanita dan 3 laki-laki, yaitu Ni Wayan Rabig (Ronci), Mde Deger (Roden), Nyoman Sepel (Seput), Ktut Sepil (Setel). Jadi kawitan semua keluarga seharusnya ke Puri Majapahit atau Puri Pejajaran, akan tetapi Puri dan pengikutnya sudah menganut agama lain, maka kawitannya menjadi Puri Smarapura (Klungkung).
Akhirnya lokasi bekas Puri ini baru mulai berani ditempati kembali oleh salah satu anak turunannya atas persetujuan romonya. Adapun putranya yang meneruskannya yaitu Made Deger dan istrinya tahun 1960.
Akan tetapi tanah yang masih disisakan oleh warga lainnya yaitu seluas + 200 m2 karena tanah/lokasi sudah ditinggalkan selama 80 tahunan (waktu yang sangat lama atau + 3 generasi, sehingga dapat dipastikan antar generasi ketiga tidak akan saling mengenal dari keluarga siapa, dan apalagi asal muasalnya dari keluarga nyineb wangsa) dan dari tanah seluas tersebutlah mulai dibangunnya sebagai tempat tinggal. Efektif keluarga baru menempati rumah yang baru dibangunnya tersebut pada akhir tahun 1962 (sebelum Gunung Agung meletus April 1963). Sebelum rumah ini ditempati, Romonya meninggal dunia di Desa Gunung Payung di sebuah desa terpencil di Kidul (Selatan) Desa Sawangan yaitu tempat dimana beliau nyineb wangsa.